BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat
Islam didera beragam masalah, salah satunya adalah munculnya firqah-firqah atau
kelompok sempalan yang menyimpang. Nabi saw. telah menjelaskan hal ini dalam
sabdanya, “Hati-hatilah sesungguhnya sebelum kalian dari kaum ahli kitab
terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya agama ini akan
terpecah menjadi 73 golongan ; tujuh puluh dua di dalam neraka, dan satu di
surga (dalam riwayat lain dikatakan: “seluruhnya di neraka kecuali satu
kelompok; yakni yang aku dan para sahabatku berada di sana.” (H.R.
Ahmad, Tirmidzi)
Kelompok yang akan selamat
adalah kelompok yang senantiasa berpegang pada Al Quran dan As sunah, serta
meneladani para sahabat. Ini dikuatkan dalam hadits-hadits lain:
“Kutinggalkan di tengah-tengah
kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat (jika berpegang pada keduanya):
kitabullah (Al Quran) dan sunnahku.”
“Barangsiapa yang hidup di
antara kalian akan menyaksikan perbedaan yang banyak, maka wajib atas kalian
berpegang pada sunahku dan sunah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk,
berpeganglah padanya dan gigitlah dengan geraham kalian,” (H.R. Tirmidizi)
Nabi saw. tidak menyebutkan
nama kelompok, tapi menjelaskan ciri-ciri kelompok yang akan selamat. Yaitu
yang berpegang pada Al Quran, As sunnah dan mengikuti jejak para sahabat.
Karenanya kita membutuhkan
kepemimpinan yang berdiri di atas akidah Islam dan menegakkan syari’at. Hanya
dengan kepemimpinan seperti itu umat Islam akan terjaga dari berbagai aliran
yang sesat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi latar belakang munculnya aliran Murji’ah?
2. Apa saja doktrin – doktrin pokok aliran Murji’ah?
3. Bagaimana tanggapan masyarakat menanggapi aliran murji’ah?
C. Tujuan
Pembuatan makalah ini tidak hanya
bertujuan sebagai tugas mata kuliah studi hukum islam tetapi juga sedikit
bertujuan untuk memberi pencerahan tentang apa dan bagaimana serta apa yang
melatarbelakangi munculnya pemikiran dalam aliran murji’ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Murji’ah
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a[1], yarji’u, yang
berarti menunda atau menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul
pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi
Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang
perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang
pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini
disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan
konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan
Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin
mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir
diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut. Menurut pendapat lain,
mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa besar
tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun dosa
besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di
akhirat baru ditentukan hukuman baginya.
Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan
teologi tersendiri berkaitan dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa
besar. Menurut penganut paham Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak berwenang
untuk menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah mereka akan
masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan
Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari
pembalasan tiba.
Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi
pada masalah keimanan seseorang. Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang
melakukan dosa besar tetap dapat disebut orang mukmin[2],
dan perbuatan dosa besar tidak mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan
merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun
perbuatan. Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya, apapun
perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan
kafir. Murji’ah mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain
Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau
melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman bin Affan (khalifah
ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).
B. Latar Belakang munculnya
aliran Murji’ah
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan
politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah
Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok
Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu
golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari
barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok
lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah
lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang
kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut
kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij
tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam
pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di
tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan
diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok
inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.
Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak
dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu
itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah
menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai kafir
selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai
rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang
mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting
dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang
masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan
dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia
ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
C. Doktrin – doktrin Pokok Aliran
Murjiah
Menurut W. Montgomery Watt
merincikan sebagai berikut :
- Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
- Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Khalifah Rasyiddin.
- Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
- Doktrin – doktrin murji’ah menyerupai pengajaran para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Menurut Harun
Nasution menyebutkan 4 ajaran pokoknya dalam doktrin teologi murji’ah yaitu :
- Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah,Amr bin Ash, dan Abu Musa Al – Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah dihari kiamat kelak.
- Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
- Meletakkan pentingnya iman dari pada amal.
- Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Menurut Abu
‘Ala Al Maududi menyebutkan 2 doktrin pokok ajaran murji’ah, yaitu :
- Iman adalah percaya kepada Allah dan rasulnya saja. Adapun amal perbuatan tidak merupakan suatu adanya iman. Berdasarkan hal ini, sesorang tetap dianggap mukmin walaupun meningggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
- Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madharat ataupun gangguan atas seorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya denganmenjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
D. Sekte – sekte dalam
Aliran Murji’ah
Dalam perjalanan sejarah, aliran ini terpecah menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok moderat dan kelompok ekstrem[3].
Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,
Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits[4].Golongan
moderat ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak
kekal dalam neraka,[5] tetapi akan dihukum dalam
neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa
Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama
sekali[6] Kelompok moderat tetap teguh berpegang pada
doktrin Murji’ah diatas.
Sedangkan tokoh – tokoh kelompok ekstrim adalah Jahm
bin Safwan(Al-Jahamiyah), Abu Hasan As-Shalihi(Ash-Shalihiyah), Yunus bin
An-Namiri(Al-Yunusiyah), Ubaid Al-Muktaib(Al-Ubaidiyah), Abu Sauban(As-Saubaniyah),
Bisyar Al-Marisi(Al-Marisiyah), dan Muhammad bin Karram(Al-Karamiyah). Golongan
ekstrim ini berpendapat bahwa Islam percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan
kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kafir tempatnya
hanyalah dalam hati, bukan menjadi bagian lain dari tubuh manusia[7].
- Al-Jahamiyah di pelopori oleh Jahm bin Safwan. Menurut paham ini, iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datangnya dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir yaitu tidak mempercayai hal-hal tersebut diatas. Apaila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah berhala, dan minum-minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
- As-Shalihiyah diambil dari nama tokohnya, Abu Hasan As-Shalihi. Sama dengan pendapat Al-Jahamiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata hanya ma’rifat kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
- Al-Yunusiyah adalah pengikut Yunus bin An-Namiri. Menurut golongan ini, iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur; sedang kufur kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketakaburannya. Mereka pun meyakini bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
- Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah. Pendapatnya yang lain adalah jika seseorang meninggal dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak akan memperbaiki posisi orang kafir. Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
- As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
- Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.
- Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan. Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.
E. Pandangan Aliran Murji'ah
Ekstrim dan Moderat Tentang Status Pelaku Dosa Besar.
Pandangan aliran Murji'ah tentang status pelaku dosa
besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh masing-masing
aliran.
- Murji'ah Ekstrim
Murji'ah Ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya
pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Artinya, mengakui
dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad Rasul-Nya.
Berangkat dari konsep ini, Murji'ah berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi
kafir karena melakukan dosa besar, bahkan mengatakan kekufurannya secara lisan[8].
Oleh karena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang
sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau
Nasrani[9].
Menurut mereka, iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman, karena yang penting
menurut mereka adalah tasdiq dalam hati. Alasannya bahwa iman dalam bahasa
adalah tasdiq sedangkan perbuatan dalam bahasa tidak dinamakan tasdiq. Tasdiq
itu merupakan persoalan dalam hati sedangkan perbuatan urusan anggota tubuh
(al-arkam) dan diantara keduanya tidak saling mempengaruhi. Iman letaknya dalam
hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain.
Sedangkan perbuatan-perbuatan seseorang tidak selamanya menggambarkan apa yang
ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan
seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Kredo
kelompok Murji'ah Ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat
menggungurkan keimanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran.
Dapat disimpulkan bahwa Murji'ah Ekstrim memandang pelaku dosa besar tidak akan
disiksa di neraka.
- Murji'ah Moderat
Golongan Murji'ah Moderat berpendapat bahwa iman itu
terdiri dari tasdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan. Pembenaran hati saja
tidak cukup ataupun dengan pengakuan dengan lidah saja, maka tidak dapat
dikatakan iman. Kedua unsure iman itu tidak dapat dipisahkan. Iman adalah
kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Jadi pelaku dosa besar
menurut mereka bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka sungguhpun ia
meninggal dunia sebelum sempat bertaubat dari dosa-dosanya. Nasihnya nasibnya
di akhirat terletak pada kehendak Allah, kalau Allah mengampuninya maka ia
terbebas dari neraka dan masuk surga, namun jika ia tidak mendapat ampunan ia
masuk neraka dan kemudian baru dimasukkan surga. Adapun orang yang berdosa
kecil, dosa-dosanya akan dihapus oleh kebaikan, sembahyang dan
kewajiban-kewajiban lainnya yang dijalankannya. Dengan demikian dosa-dosa besar
apalagi dosa-dosa kecil tidak membuat seseorang keluar dari iman[10].
F. Pandangan Aliran Murji'ah
Tentang Konsep dan Kufur
- Murji'ah Ekstrim
Konsep Murji'ah Ekstrim berdasar pengakuan atau
pembenaran dalam hati (tasdiq). Menurut golongan ini orang Islam yang percaya
pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan maka tidaklah kafir,
karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati. Oleh karena itu segala
ucapan maupun perbuatan yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti
menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam
pandangan Tuhan, sungguhpun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran Yahudi /
Kristen dengan menyembah salib. Hal ini disebabkan oleh keyakinan Murji'ah
bahwa iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman.
- Murji'ah Moderat
Konsep iman Murji'ah Moderat berdasar pembenaran dalam
hati (tasdiq) dan pengakuan dengan lidah (iqrar). Menurut golongan ini orang
Islam yang berdosa besar bukanlah kafir, tetapi masih tetap mukmin, akan tetapi
dosa yang diperbuatnya bukan berarti tidak berimplikasi. Seandainya masuk
neraka, karena Allah menghendakinya, ia tidak akan kekal didalamnya dan akan
dimasukkan serga. Abu hanifah memberi definisi iman sebagai berikut, iman ialah
pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan tentang Rasul-rasul-Nya dn tentang
segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian;
iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan
antara manusia dalam hal iman. Definisi Abu Hanifah ini menggambarkan bahwa
iman seluruh umat Islam adalah sama, hanya berbeda dari segi intensitas amal
perbuatan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang
berarti menunda atau menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul
pada abad pertama Hijriyah.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda
penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin
Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti.
Dalam perjalanan sejarah, aliran ini terpecah menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok moderat dan kelompok ekstrem. Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah
Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf
dan beberapa ahli hadits.Golongan moderat ini berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum
dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan
bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka
sama sekali. Sedangkan tokoh – tokoh kelompok ekstrim adalah Jahm bin Safwan, Abu
Hasan As-Shalihi, Yunus bin An-Namiri, Ubaid Al-Muktaib, Abu Sauban, Bisyar
Al-Marisi, dan Muhammad bin Karram. Golongan ekstrim ini berpendapat bahwa Islam
percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah
menjadi kafir, karena iman dan kafir tempatnya hanyalah dalam hati, bukan
menjadi bagian lain dari tubuh manusia
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
http//:Wikipedia.com//
http://man2amuntai.wordpress.com/2008/11/29/aliran-murjiah/
http://www.gaulislam.com/2008/03/26bingung-memilih-aliran-dalam-islam
Abdul Rozak, Rosihin Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia,Bandung:
2001.
Nasution Harun, Teologi
Islam aliran aliran sejarah analisa perbandingan, UI Pers, Jakarta: 1986.
[1] Kata arja’a dalam
arti sebenarnya dipakai oleh Ibnu Asakir dalam uraiannya tnteng asal – usul
kaum Murji’ah. Lihat Ahmad Amin, Fajar al – islam, Kairo, Maktabah al –
Nahdah, 1965, hal 279.
[2] Kata mu’min sebagai
dipakai pada waktu itu kelihtannya masih identik dengan kata muslim.
Belum terdapat perbedaan arti seperti yang terdapat dizama sesudahnya.
[3] Al – Baaghdadi membagi
mereka dalam 3 golongan Murji’ah yang dipengaruhi ajaran Jabariyah, Murji’ah
yang dipengaruhi ajaran Qadariyah, Murji’ah yang tidak dipengaruhi oleh ajaran
ajaran itu, Lihat al Farq, 202. Al – Syahrastani memberikan pembagian
yang hampir sama, Murji’ah Kahawarij, Murji’ah Jabariah, dan Murji’ah asli,
Lihat al Milal,I/39.
[4] Lihat al – Milal,
I/146.
[5] Lihat al – Milal,
I/146.
[6] Al – Mazahib, 205.
[7] Maqalat, I/198
[8] Maqalat, I/198
[9] Lihat al – Fisal,
jilid V, hal 46
[10] Usl al – Din, Kairo,
1962, hal 135.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar